Sabtu, 10 Maret 2012

persilangan monohibrid dan dihibrid

I.       PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Persilangan monohibrida adalah persilangan sederhana yang hanya memperhatikan satu sifat atau tanda beda. Percobaan ini akan diujikan pada lalat Drosophila dengan maksud untuk membuktikan Hukum Mendel I. Pada kasus dominant penuh, keturunan yang didapat pada F2 akan menunjukkan perbandingan fenotip dominan dan resesif 3 : 1 atau perbandingan genotip 1 : 2 : 1. Analisa dengan uji X2 hanya dilakukan untuk perbandingan fenotipnya. Persilangan ini bersifat resiprokal, artinya penggunaan individu jantan dan betina dengan satu tanda beda tertentu dapat sesuka hati tanpa ada pengaruhnya dalam rasio fenotip generasi kedua (F2).

Persilangan dihibrida merupakan perkawinan dua individu dengan dua tanda beda. Persilangan ini dapat membuktikan kebenaran Hukum Mendel II yaitu bahwa gen-gen yang terletak pada kromosom yang berlainan akan bersegregasi secara bebas dan dihasilkan empat macam fenotip dengan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. kenyataannya, seringkali terjadi penyimpangan atau hasil yang jauh dari harapan yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya interaksi gen, adanya gen yang bersifat homozigot letal dan sebagainya.
Masalah penurunan sifat atau hereditas mendapat perhatian banyak peneliti. Peneliti yang paling popular adalah Gregor Johann Mendel yang lahir tahun 1822 di Cekoslovakia. Pada tahun 1842, Mendel mulai mengadakan penelitian dan meletakkan dasar-dasar hereditas. Ilmuwan dan biarawan ini menemukan prinsip-prinsip dasar pewarisan melalui percobaan yang dikendalikan dengan cermat dalam pembiakan silang.  Penelitian-penelitian Mendel menghasilkan hukum Mendel I dan hukum Mendel II.
Mendel melakukan persilangan monohibrid atau persilangan satu sifat beda, dengan tujuan mengetahui pola pewarisan sifat dari tetua kepada generasi berikutnya. Persilangan ini untuk membuktikan hukum Mendel I yang menyatakan bahwa pasangan alel pada proses pembentukkan sel gamet dapat memisah secara bebas. Hukum Mendel I disebut juga dengan hukum segregasi.
Mendel melanjutkan persilangan dengan menyilangkan tanaman dengan dua sifat beda, misalnya warna bunga dan ukuran tanaman. Persilangan dihibrid juga merupakan bukti berlakunya hukum Mendel II berupa pengelompokkan gen secara bebas saat pembentukkan gamet. Persilangan dengan dua sifat beda yang lain juga memiliki perbandingan fenotip F2 sama, yaitu 9 : 3 : 3 : 1. Berdasarkan penjelasan pada persilangan monohibrid dan dihibrid tampak adanya hubungan antara jumlah sifat beda, macam gamet, genotip, dan fenotip beserta perbandingannya.
Persilangan monohibrid yang menghasilkan keturunan dengan perbandingan F2, yaitu 1 : 2 : 1 merupakan bukti berlakunya hukum Mendel I yang dikenal dengan nama  Hukum Pemisahan Gen yang Sealel (The Law of Segregation of Allelic Genes). Sedangkan persilangan dihibrid yang menghasilkan keturunan dengan perbandingan F2, yaitu 9 : 3 : 3 : 1 merupakan bukti berlakunya Hukum Mendel II yang disebut Hukum Pengelompokkan Gen secara Bebas (The Law Independent Assortment of Genes). Dengan mengikuti secara saksama hasil percobaan Mendel, baik pada persilangan monohibrid maupun dihibrid maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa gen itu diwariskan dari induk atau orang tua kepada keturunannya melalui gamet.

B.     TUJUAN
Tujuan dari praktikum kali ini adalah mengamati, mempelajari, dan membedakan sifat dari keturunan hasil persilangan monohibrid dan dihibrid serta membuktikan Hukum Mendel I dan Hukum Mendel II pada persilangan monohibrid dan dihibrid pada lalat Drosophila.

II.                BAHAN DAN ALAT

  1. BAHAN
-          Lalat Drosophila
-          Kloroform
-          Ekstrak pisang
-          Kapas

  1. ALAT
-          Botol selai
-          Pipet tetes
-          Cawan Petri
-          Kantong plastik putih
-          Karet gelang
-          Busa/gabus

III.             PROSEDUR KERJA

A.    Persilangan Monohibrida
  1. Dipilih dua pasang lalat Drosophila yang mempunyai satu sifat atau tanda beda tertentu untuk dikawinkan.
  2. Setelah tampak berbentuk pupa (6-7 hari setelah dikawinkan), semua induk persilangan harus dibuang sebelum pupa-pupa itu menjadi imago.
  3. Lakukan pengamatan pada keturunan pertamanya (F1). Apabila terdapat lebih dari satu macan fenotip, maka persilangan dianggap gagal sehingga tidak dapat diteruskan sampai F2 karena hasilnya akan menunjukkan bahwa betina yang dipakai tidak virgin.
  4. Silangkan kembali dengan 2 pasang F1 yang baru pada kultur yang baru pula dan selanjutnya dilakukan kembali langkah no. 2 dan 3 untuk keturunan keduanya (F2).
  5. Data dari pengamatan diuji dengan uji chi-square (X2).

B.     Persilangan Dihibrid
1.   Dipilih dua pasang lalat Drosophila yang mempunyai dua sifat atau tanda beda tertentu untuk dikawinkan.
2.   Setelah tampak berbentuk pupa (6-7 hari setelah dikawinkan), semua induk persilangan harus dibuang sebelum pupa-pupa itu menjadi imago.
3.   Lakukan pengamatan pada keturunan pertamanya (F1). Apabila terdapat lebih dari dua macam fenotip, maka persilangan dianggap gagal sehingga tidak dapat diteruskan sampai F2 karena hasilnya akan menunjukkan bahwa betina yang dipakai tidak virgin.
4.   Silangkan kembali dengan 2 pasang F1 yang baru pada kultur yang baru pula dan selanjutnya dilakukan kembali langkah no. 2 dan 3 untuk keturunan keduanya (F2).
5.   Data dari pengamatan diuji dengan uji chi-square (X2)

IV.             HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Hasil persilangan Dihibrid (F1x F1) :
        Lalat mata merah tubuh abu-abu (normal)            = 107
        Lalat mata putih tubuh abu-abu (normal )            = 116
        Lalat mata merah tubuh ebony                             = 15
        Lalat mata putih tubuh ebony                               = 17

Persilangan lalat Drosophila :
P    :           mata merah, ebony      x          mata putih, tidak ebony
                        (w+w+,ee)              |                        (ww,e+e)
G   :                       w+e                  |                       w, e+
                                                      |
F1   :                        mata merah tubuh abu-abu     (normal)
                                             (w+w, e+e)
F2   :                                        [ F1 x F1]

Dari persilangan F1 didapat hasil pada F2 :
        Lalat mata merah tubuh abu-abu (normal)      = 107
        Lalat mata putih tubuh abu-abu (normal)       = 116
        Lalat mata merah tubuh ebony                       = 15
        Lalat mata putih tubuh ebony                         = 17

Genotipe yang mungkin, jika dilihat dari tetua G dan F2= w+w; wwe+e;w+wee;wwee
Perbandingan F2 dari nilai 0 ≠ 9 : 3 : 3 : 1

Tabel X2 (chi-square)

Karakteristik yang diamati
Σ
MA
PA
ME
PE
O
107
116
15
17
245
E
137,8
45,9
45,9
15,3
245
O – E
- 31
70
- 31
2
10
(O – E)2
E
6,96
106,52
20,89
0,26
134,63
X2 hit
6,96
106,52
20,89
0,26
134,63

Nilai perbandingan jika melihat hasil dari O (observasi) tidak sesuai dengan 9 : 3 : 3 : 1, dan X2 hit > X2 tabel. Jadi hipotesis ditolak.

Untuk siklus Drosophila setelah tetua pada F1 dihibrid.
Hari pertama         : belum ada perkembangan
Hari ketiga                        : larva
Hari kelima            : pupa
Hari keenam          : menetas / keluar dari pupa lalu menjadi lalat kembali.
Proses berlangsung cepat karena faktor “cahaya” pada peletakan di hari keempat dan kelima hingga keenam.
Untuk F2 dihibrid.
Hari pertama         : masih tetap
Hari ketiga                        : larva
Hari keenam          : pupa
Hari kedelapan      : keluar dari pupa menjadi lalat

Keterangan tabel X2 :
MA            = mata merah tubuh abu-abu
PA             = mata putih tubuh abu-abu
ME            = mata merah tubuh ebony
PE             = mata putih tubuh ebony
Perolehan genotipe dari :
Mata merah, genotipe yang mungkin adalah        = w+w+, w+w
Tubuh abu-abu, genotipe yang mungkin adalah   = e+e+,e+e
Mata putih, genotipe yang mungkin adalah          = ww
Tubuh ebony, genotipe yang mungkin adalah      = ee

Jika muncul mata merah abu-abu, maka ada 4 kemungkinan pada genotipe :
1.      w+w+e+e+
2.      w+w+e+e
3.      w+we+e+
4.      W+we+e

Jika pada F1 disilangkan mata merah abu-abu dengan mata merah abu-abu dapat dilihat :
P                : merah abu-abu           x          merah abu-abu
Genotipe   :           w+w e+e                            w+w e+e
F1               :                            w+w e+e+
F2               :                            [F1 x F1]
Dalam tabel genotipe F2 :
         
 
w+e+
w+e
we+
we
w+e+
w+w+e+e+
w+w+e+e
w+we+e+
w+we+e
w+e
w+w+e+e
w+w+ee
w+we+e
w+wee
we+
w+we+e+
wwe+e
wwe+e+
wwe+e
we
w+we+e
w+wee
wwe+e
wwee

Jika sesuai dengan hukum Mendel, maka perbandingan genotipe normalnya adalah :
Mata merah abu-abu : mata putih abu-abu : mata merah ebony : mata putih ebony
9              :                   3            :                     3         :            1

Pada tahun 1901, Morgan menemukan adanya rangkaian kelamin dengan menggunakan Drosophila melanogaster yang memperlihatkan warna matanya. Lalat yang normal bermata merah, tetapi diantara sekian banyak lalat bermata merah itu didapatkan lalat jantan bermata putih. Karena perbedaan dari yang normal maka lalat yang bermata putih disebutnya menyimpang dari yang normal. Morgan mengawinkan lalat jantan bermata putih itu dengan lalat betina normal bermata merah. Semua lalat pada F1, baik yang jantan maupun betina bermata merah. Ketika lalat-lalat F1 dikawinkan didapatkan F2 yang memperlihatkan perbandingan ¾ bermata merah : ¼ bermata putih. Ternyata, lalat-lalat F2 yang bermata merah adalah betina, sedangkan separo dari jumlah lalat jantan memiliki mata merah dan separo yang lain bermata putih. Oleh karena itu, Morgan mengambil kesimpulan bahwa :
a.       Faktor warna mata merah dominant terhadap factor warna mata putih.
b.      Gen resesif yang menentukan warna mata putih hanya memperlihatkan pengaruhnya pada lalat jantan saja, dan
c.       Gen yang menentukan warna mata pada Drosophila melanogaster  itu terdapat pada kromosom X.
Selanjutnya, Morgan menyatakan bahwa gen atau sifat yang bergantung pada kromosom seks itu disebut tertaut seks (sex linkage), peristiwanya disebut tautan sex. Andaikata gen resesif yang menentukan warna mata putih itu adalah w (white) yang terdapat pada kromosom X maka alel dominannya adalah W. Tautan sex dapat terjadi pada kromosom X maupun kromosom Y.
Hukum Mendel I : Pemisahan gen sealel . Dalam bahasa inggris disebut “Segregation of Allelic Genes”. Peristiwa pemisahan alel ini terlihat ketika pembentukkan gamet individu yang memiliki genotip heterozigot, sehingga tiap gamet mengandung salah satu alel itu. Hukum ini disebut juga Hukum Segregasi yang selalu berhubungan dengan percobaan persilangan dua individu yang memiliki satu karakter berbeda atau disebut juga monohybrid, dengan perbandingan rasio genotip 1 : 2 : 1.
Warna tubuh lalat buah yang normal ialah kelabu. Ada strain yang warna tubuhnya hitam, berasal dari mutasi gen kelabu. Kelabu dominan terhadap hitam.

Simbol :   B = kelabu,             b = hitam

      P    :     BB                x               bb
                 (kelabu)                        (hitam)
     F1    :                         Bb
                                  (kelabu)
     F2    :       F1                x               F2
     
B
b
B
BB
Bb
b
Bb
bb

    Ratio genotip       :         1 BB      :        2 Bb       :         1 bb
    Ratio fenotip        :        kelabu     :      hitam
                                              3         :         1

Hukum Mendel II : Pengelompokkan gen secara bebas. Dalam bahasa inggris : “Independent Assortment of Genes”. Hukum ini berlaku ketika pembentukkan gamet, dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub ketika meiosis. Pembuktian hukum ini dipakai pada dihibrid atau polihibrid, yakni persilangan dari individu yang memiliki dua atau lebih karakter berbeda. Disebut juga Hukum asortasi. Disinilah berlaku Hukum Mendel II itu, yakni ketika terjadinya meiosis pada gametogonium individu yang mempunyai genotip double heterozigot sesuai dengan jenis hibridnya. Ratio fenotip F2, kalau kita jumlahkan semua yang memiliki karakter sama dari keempat macam itu akan didapat perbandingan ratio fenotip dihibrid F2 = 9 : 3 : 3 : 1.
Sayap panjang normal pada lalat buah dominan terhadap sayap kisut (abnormal karena mutasi), sedang warna mata merah normal dominan terhadap mata putih (abnormal karena mutasi). Simbol untuk bentuk sayap : V-v, untuk warna mata : W-w (berasal dari vestige dan white).

Simbol :    VV  = sayap panjang                 vv = sayap kisut
                 WW = mata merah                    ww= mata putih

      P    :              VVWW                   x                    vvww
                     (panjang-merah)                              (kisut-putih)
      F1   :                                          VvWw
                                                 (panjang-merah)
      F2   :                     F1                        x              F1

        
 
VW
Vw
vW
vw
VW
VVWW
VVWw
VvWW
VvWw
Vw
VVWw
VVww
VvWw
Vvww
vW
VvWW
VvWw
vvWW
vvWw
vw
VvWw
Vvww
vvWw
vvww
      
     Ratio genotip      :         9 V-W -              :     3 V- ww   :      3 vvW-      :     1 vvww   
     Ratio fenotip       :    panjang-merah        : panjang putih            :   kisut-merah :    kisut-putih
                                              9                     :          3           :           3          :          1

V.                SIMPULAN DAN SARAN


A.    SIMPULAN
1.      Persilangan monohibrid adalah persilangan pada suatu organisme yang memiliki satu sifat beda, sedangkan persilangan dihibrid adalah persilangan organisme yang memiliki dua sifat beda.
2.      Hukum Mendel I disebut juga Hukum segregasi atau pemisahan gen sealel yang menghasilkan perbandingan genotip F2 = 1 : 2 : 1. Sedangkan  Hukum Mendel II disebut juga Hukum Asortasi atau pengelompokan gen secara bebas yang menghasilkan perbandingan genotip F2 = 9 : 3 : 3 : 1.
  1. Pada praktikum ini tidak semuanya proses persilangan monohybrid dan dihibrid pada lalat Drosophila menghasilkan perbandingan yang sesuai dengan harapan seperti halnya perbandingan yang dikemukakan oleh Mendel. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal :
-          Praktikan kurang jeli dalam mengamati persilangan yang dilakukan terhadap lalat Drosophila.
-          Praktikan salah dalam proses perhitungan hasil persilangan dengan menggunakan uji chi-square (X2).
-          Proses-proses pada prosedur kerja tidak dilakukan dengan sempurna.


B.     SARAN
1.      Pada praktikum persilangan monohibrid dan dihibrid sebaiknya praktikan       memperhatikan betul prosedur kerja dan kebersihan alat-alat yang akan digunakan.
2.      Praktikan harus sabar dan teliti di dalam memelihara dan mengamati persilangan yang terjadi pada lalat Drosophila, sebaiknya pada praktikum persilangan ini jangan menggunakan lalat Drosophila karena terlalu sulit untuk diamati karena bentuknya yang terlalu kecil.